Jumat, 19 September 2008

Akhir Peperangan Harry Potter

Harry Potter dan sahabat karibnya, Hermione Granger, tiba di kota sihir Godric Hollow di tengah salju bulan Desember.
Lagu-lagu pujian terdengar dari gereja di desa itu ketika keduanya mencari-cari di kuburan Lily dan James Potter di pemakaman desa. Kedua orang itu dibunuh oleh tokoh dunia hitam Lord Voldemort. Pertama, mereka mendapati batu nisan dari keluarga Albus Dumbledore, mantan kepala Sekolah Sihir dan Mantra Hogwarts. Di batu itu tertulis: “Dimana hartamu berada, di situ hatinya berada pula.”


Kemudian di batu nisan keluarga Potter tertulis: “Musuh terakhir yang harus dihancurkan adalah maut.” Harry terkesima. Apakah ini mengenai mengalahkan setan si Pemangsa Kematian?
“Itu berarti kematian bukan seperti yang dimaui oleh si Pemangsa Kematian, Harry,” kata Hermione. “Itu berarti . . .tahu kan . . .kehidupan setelah mati. Kehidupan setelah mati.”
Bagi jutaan orang beriman yang membaca Harry Potter, cuplikan dari buku “Harry Potter and Deathly Hallows” yang merupakan buku ketujuh karya JK Rowling, membuktikan bahwa pengarangnya, yang sebenarnya adalah jemaat Gereja Scotland, sangat terinspirasi oleh imannya ketika menulis.
Kutipan pertama itu diambil dari Injil Matius dan yang kedua, juga menjadi tema bukunya, adalah ayat dari Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus mengenai kebangkitan Kristus.
Meskipun demikian, bagi jutaan pengkritik Rowling, kehadiran ayat-ayat Alkitab itu di buku terakhirnya sama sekali tidak mengurangi nilai mantra, sihir, dan spiritualitas abad ini. Dan juga Potter sama sekali tidak mengenali ayat-ayat itu, bukan?

Picu Perdebatan

Berbagai perdebatan religi muncul setelah buku Rowling Harry Potter and Philosopher’s Stone. Hal itu sama sekali tidak berarti meski Philosopher’s Stone digantikan dengan Sorcerer’s Stone dalam edisi untuk pasar AS. Setelah terjual 325 juta eksemplar di seluruh dunia, kini sekurangnya ada tiga kubu pengkritik dan tiga kubu pembela dalam perdebatan teologis mengenai Harry Potters. Termasuk di situ:
Pertama, kelompok yang berkeras bahwa buku itu sekuler atau bahkan anti-agama. Dalam tulisannya di Time, Lev Grossman berpendapat Rowling punya pandangan lebih mirip dengan tokoh atheis Christopher Hitchens ketimbang JRR Tolkien atau CS Lewis, yang memang buku-buku mereka berakar pada kekristenan.
“Simak buku karya Rowling,” ucap Grossman. “Apa yang hilang? Kalau Anda ingin tahu siapa yang mati di Harry Potter, jawabnya mudah: Tuhan. Harry Potter hidup di dunia yang bebas dari agama atau keimanan apa pun. Dia hidup dikelilingi hantu, tetapi tidak ada yang disembah, bahkan kalau dia mau sekali pun, dan ternyata tidak.”
Kedua, kaum konservatif yang berpendapat para pencinta Potter bisa jadi pemuja setan. Beberapa bahkan menentang fantasi di buku karya Lewis atau pun Tolkien, yang memang juga mengandung mantra, sihir, dan kekuatan gelap. Ada sebuah ayat di kitab Ulangan (Deuteronomy): “Jangan ada di antara kamu yang mengorbankan anak laki-laki atau perempuannya ke api, atau yang mempraktikkan sihir, atau nujum, atau menjadi cenayang, atau ...”
Fokus pada Keluarga yang diasuh James Dobson menanggapi “Deathly Hallows” dengan mengatakan: “Karakter sihir—dukun, mantra, setan, tuyul, werewolf—yang ada dalam kisah-kisah Harry Potter, dan kenyataan adanya kecenderungan terhadap mistik dan ideologi New Age. . . sulit mengabaikan dampak kisah-kisah yang demikian terhadap kaum muda.”
Ketiga, kaum beriman yang melihat sejumlah sinyal. Aktivis penginjilan Chuck Colson, misalnya, memuji buku-buku itu tahun 1999, karena mengkontraskan antara baik dan jahat, sementara pemeran utama menunjukkan keberanian, kesetiaan, dan kerelaan berkorban. “Bukanlah pelajaran buruk di tengah dunia yang sangat egois ini,” kata pendiri Prison Fellowship itu.
Namun komentar terakhir Colson adalah: “Secara pribadi, saya tidak merekomendasikan buku Potter. Paling tidak anak-anak Kristen tidak membacanya.”
Tak lama setelah komentar Colson ini, Presiden Prison Fellowship, Mark Earley, memuji buku Rowling, khususnya fantasi yang ditampilkan oleh novel ini sangat berkesan bagi orang-orang modern.
“Kemasyuran buku-buku itu, dan, ya, serial Harry Potter, mengingatkan kita untuk terus berharap bahwa kebaikan akan menang dan kejahatan dikalahkan, bukanlah dorongan yang infantile,” katanya. “Lagi pula, ini adalah bagian yang paling dalam dan penting dari kita, ditempatkan di tengah kita oleh Allah yang kuasa.”

0 komentar: